Rabu, 09 April 2008

PEREMPUAN DAN LINGKUNGAN

Gerakan Perempuan telah tumbuh dalam berbagai sendi kehidupan, baik itu kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi. Diantara berbagai kehidupan tersebut memang tidak dapat dilepaskan satu sama lain karena semuanya saling terkait, terutama dalam hal aksesibilitas perempuan terhadap sumber daya alam. Gerakan perempuan dalam catatan sejarah Indonesia telah ada sejak lama. Tumbuhnya gerakan perempuan di Indonesia banyak diinspirasi oleh tulisan-tulisa R.A. Kartini yang menuntut adanya emansipasi perempuan dalam relasinya dengan laki-laki.Tulisan-tulisan Kartini diterbitkan pertama kali dalam sebuah buku berbahasa belanda yang berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), menjadi bukti tertulis bahwa keinginan perempuan untuk disamakan dengan laki-laki telah muncul dari abad yang lalu juga.

Gerakan-gerakan perempuan yang selama ini diusung adalah gerakan perempuan yang bersifat ekslusif dan berbasis di perkotaan, sehingga pandangan-pandangan mengenai perempuan yang berada dipedesaan sering kali mengalami bias kota (urban bias) dan tidaklah mengherankan apabila gerakan perempuan yang berbasis di pedesaan seringkali dilupakan sebagai agenda dari gerakan perempuan yang berbasis gender.

Padahal perempuan di pedesaan menghadapi sejumlah permasalahan yang sama dengan perempuan-perempuan di perkotaan, yaitu keterlibatan mereka dalam wilayah publik (public domain) skala mikro/keluarga maupun skala makro/sistem kemasyarakatan terutama dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan hidup mereka.

Ironisnya, perempuan pedesaan mengalami penyingkiran dari akses terhadap sumber daya alam, yang pada awalnya mereka dengan sangat leluasa bisa mengakses sumber daya alam tersebut. Hal-hal seperti itulah yang kemudian semakin hari menjadi perhatian berbagai organisasi non pemerintah (ornop) lokal, nasional maupun internasional hal itu terwujud dari mulai dimasukkannya berbagai agenda di dalam program aktivitas dalam rangka pemberdayaan perempuan terhadap akses sumber daya alam maupun meningkatkan keterlibatan perempuan diwilayah publik, terutama bagi perempuan-perempuan pedesaan, dan itu merupakan salah satu strategi AKAR Foundation untuk memperjuangkan kesetaraan gender terhadap akses dan kontrol lingkungan baik secara mikro/komunitas maupun secara makro/kabupaten dan Propinsi. Program ini bukan sesuatu yang baru tetapi mulai dikenalkan oleh sejumlah organisasi non pemerintah pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.

Program gender atau pemberdayaan perempuan di pedesaan sebagai bagian dari program AKAR Foundation Bengkulu terwujud seiring dengan munculnya beberapa temuan yang berasal dari penelitian lapangan maupun pengalaman advokasi dari beberapa aktivis organisasi non pemerintah (ornop) yang menunjukkan bahwa telah terjadi pemarjinalan perempuan di sektor pedesaan karena program Revolusi Hijau yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1970-an.

Program Revolusi Hijau sebagai program pembangunan pedesaan yang ditempuh dengan cara intensifikasi pertanian, berimbas kepada tercerabutnya perempuan dari usaha-usaha produktif pertanian. Akibatnya, perempuan pedesaan semakin mengalami kemiskinan dan hilangnya akses terhadap sumber daya alam.

Perempuan anggota masyarakat adat di Indonesia dalam kenyataan mengalami penyingkiran (marginalization)rangkap: pertama penyingkiran selaku bagian dari masyarakat adat yang secara keseluruhan tertundukkan akibat politik hukum agraria nasional yang terpusat pada kekuasaan negara dan kedua penyingkiran selaku perempuan yang hidup dalam masyarakat dengan tradisi patriarcal yang meletakkan diri mereka semata-mata sebagai sebagian dari milik dan kekuasaan kaum laki-laki.

Strategi perubahan sosial yang harus dilakukan adalah penyadaran kepada masyarakat dan penguasa negara akan ketidakadilan gender yang telah merugikan perkembangan dan masa depan kaum perempuan melalui proses-proses pemberdayaan sosial politik bagi mereka. Selain itu perubahan hukum textual mendasar juga perlu dilakukan di aras konstitusi dengan meletakkan kembali kewenangan dan hak-hak publik atas sumber daya alam pada satuan-satuan (entities) politik sebagaimana dikenal dalam masyarakat adat di tiap-tiap daerah yang mengimplementasikan penghargaan terhadap hak-hak jender serta melakukan reposisi negara dalam konteks baru yang lebih berkeadilan.

Konstruksi budaya yang membedakan antara perempuan dan laki-laki terhadap tingkat aksesibilitas sumber daya alam, dipersonifikasikan ke dalam dikotomi antara ”nature” and ”culture”. Laki-laki dipersonifikasikan sebagai culture yang memiliki seperangkat cara dalam mengeksploitasi nature, yang dimana nature merupakan personifikasi dari perempuan. Meski, pendikotomian antara nature dan culture memiliki kenyataan relatif yang tergantung kepada budaya dari masing-masing pendukungnya, dalam pengertian budaya tidaklah bersifat homogen sebagai hal yang mengatur kehidupan individu maupun kelompok masyarakat.

Perubahan mendasar di aras konstitusi juga perlu dilakukan dengan menyatakan secara tegas bahwa kaum perempuan berhak memperoleh jaminan perlindungan hukum khusus bagi diri dan masa depan mereka sebagai pribadi maupun kontrol atas kekayaan material, akses terhadap pengelolaan Sumber daya alam yang menjadi asset kelompok masyarakatnya yang akan lebih menjamin kesetaraan dan keadilan gender, walaupun itu berarti melawan tradisi masyarakat dimana mereka tergabung. Perubahan hukum textual di aras konstitusi tersebut selanjutnya akan menjadi dasar dan acuan bagi parlemen dalam merencanakan pembuatan undang-undang baru maupun perubahan undang-undang lama ke arah yang lebih sesuai dengan kebutuhan kaum perempuan.

Dalam manifestasinya, gerakan perempuan yang berideologi jender memang sudah semakin diketahui oleh publik dan semakin menguat, tidak hanya dalam arus wacana, tetapi juga dalam arus praksis. Hanya saja ada yang mesti digarisbawahi dalam implementasi gerakan perempuan yang beridiologi jender karena seringkali gerakan perempuan yang beridiologi jender dirancukan dengan gerakan feminis yang cenderung melihat laki-laki sebagai sebuah musuh bersama (commonenemy) perempuan. Implikasi dari kerancuan ini adalah semakin bertambahnya kompleksitas permasalahan perempuan dengan sesuatu yang bersifat emosional dibandingkan bersifat rasional. Oleh karena itu, sebaiknya kita kembali kepada hakekat dari gerakan perempuan berideologi jender, dimana asumsi ideologi jender adalah memperbaiki ketimpangan relasi antara

Tidak ada komentar: